Pati, Tren24jam.com - Jamane jaman edan, sing ora edan ora bakal keduman. Nanging sak bejo-bejone wong edan, isih luwih bejo wong kang eling lan waspodo”, ujar Bintang JB, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Antar Lebaga & Pemerintahan Gabungnya Wartawan Indonesia (DPP GWI) di lokasi Desa Pantirejo Kecamatan Gabus Kabupaten Pati Jawa Tengah (9/3/2021).
Siapa saja boleh mengikuti kontestasi dalam demokrasi, seperti kontestasi tingkat desa yang sering disebut dengan PILKADES. Kontestasi itu mesti menjunjung tinggi moralitas. Nilai-nilai moralitas itu tidak pernah tertulis, layaknya Perbub No. 16 Tahun 2021 perubahan dari Perbub No 88 Tahun 2020 tentang mekanisme dan atau tata tertib pilkades mulai dari persiapan, pelaksanaan sampai dengan pelantikan, tetapi menjadi pedoman yang menginspirasi peraturan tersebut. Maka, sekalipun secara eksplisit peraturan membolehkan, bisa jadi secara implisit moralitas adalah tabu yang mesti dihindari karenanya terlarang.
Desa Pantirejo telah melaksanakan pendaftaran bakal colon pilkades periode 2021 – 2027. Sumantri (nomor urut 1) adalah petahana yang mengikuti kontestasi untuk ketiga kalinya. Dalam kontestasi kali ini, istrinya Nanik Sugiarti(nomor urut 4), seorang dokter PNS, juga ikut mendaftar. Ikut mendaftar pula Sujadmiko(nomor urut 2), kakak kandung Sumantri, Gendhis Indra Dewi (nomor urut 6), keponakan Sumantri, Astrikha Hefty Oktavia (nomor urut 3), keponakan ipar Sumantri. Lawan dari persekongkolan lima bakal calon ini adalah Marhendryex Sam Wijaya (nomor urut 5), sepupu Sumantri dan Yuliyati (nomor urut 7), ipar dari Mahendryex.
Dua kubu saling bersebrangan, yaitu Sumantri dan Marhendryex. Peta pertarungan ketika dua bakal calon ini saling berhadapan, Sumantri diprediksi kalah telak dikarenakan masyarakat sudah muak dengan prilaku dan performance Sumantri di periode kedua ini yang tidak jauh berbeda dengan periode pertama, yaitu tidak dibukanya partisipasi secara luas masyarakat dalam tata kelola pemerintahan, termasuk di dalamnya kebijakan dan pembangunan desa. Karenanya, pemerintahan Sumantri ditengarai _tidak credible dan accountable._ Masyarakat yang sudah muak dengannya lalu bersepakat mencalonkan Mahendryex, seorang calon kepala desa yang kalah pada pilkades 2009.
Empat bakal calon adalah bayangan untuk Sumantri, sedangkan satu lainnya adalah bayangan untuk Marhendryex.
Aroma kotor dalam pilkades kali ini tidak bisa dibungkus rapat lagi karena sudah terlanjur menjadi rahasia publik, yaitu kontestasi untuk melanggengkan kekuasaan yang korup. _Power tends to corrupt._ Bahkan tabur uang sogokan ke setiap pemilih tidak akan terelakan lagi seperti pada pilkades sebelumnya. Apa iya ini model demokrasi tingkat desa yang kita inginkan untuk membangun Indonesia? Demokrasi oligarkhi penuh persekongkolan kolusi (kongkalingkong), korupsi (sogokan uang untuk membeli setiap suara) dan nepotisme (keluarga) yang mencederai moralias hati nurani? Jangan sampai panitia penyelenggara tingkat desa termasuk di dalamnya camat dan bahkan Bupati beserta jajarannya masuk dalam kerangkeng KKN ini.
Siapa saja tanpa terkecuali boleh mencalonkan diri dalam kontestasi di era demokratis. Karena demokrasi memang mensyaratkan partisipasi yang tidak boleh dihalang-halangi. Akan tetapi demokrasi jangan hanya didefinisikan dalam arti kuantitatif berupa angka saja, yaitu siapa mendapatkan suara terbanyak maka dia lah yang menang. Karena dibalik demokrasi yang kuantitatif itu ada naluri moralitas yang mendasarinya yang walaupun tidak tertulis secara eksplisit mensyaratkan kita supaya “eling tur waspada” bahwa moralitas itu yang akan menyelamatkan kita dan Indonesia dari “jaman edan” ini. Demokrasi kuantitatif adalah jalan yang kita pilih untuk mengakhiri era otoriter Orde Baru dengan tujuan mendapatkan pemimpin yang SATF: shidiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (dapat menyampaikan) dan fathonah (cerdas). Tujuan ini bisa tercapai, kalau demokrasi kuantitatif ini secara konsisten kita bingkai dengan moralitas luhur. Dus, bakal calon yang melanggengkan nepotisme mencederai moralitas demokrasi.
Demokrasi yang kuantitatif seringkali dimanipulasi dengan trik kotor persekongkolan nepotisme dalam tahapan pencalonan pilkades, tetapi moralitas demokrasi secara konsisten tidak akan merestuinya. Karenanya, saatnya masyarakat sadar dan “eling tur waspada” terhadap trik kotor ini. Pilihlah calon yang mengedepankan naluri moralitas, bukan yang ingin melanggengkan kekuasaan dengan cara-cara yang memanipulasi bingkai demokrasi. Pilihan ada di tangan anda. Pilih kubu KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang melanggengkan _corrupt government_ atau kubu yang SATF (Shidiq, Amanah, Tabligh dan Fathonah) yang membuka kran partisipasi masyarakat secara luas untuk _clean, credible, transparant and accountable_ government.
Tentu saja di akhir tulisan ini saya mengajak anda semua untuk memilih calon kades yang SATF. Siapa kah calon itu? … _ehem … dah tau deh lu! Mosok nalurimu mung diregani duit paling banter 500 ewu? (Budi)
Post a Comment
Berkomentarlah sesuai dengan topik dan tidak menaruh link aktif. Terima kasih atas perhatiannya.