Timika Papua, Tren24jam.com - Ratusan Mama mama Papua yang biasanya berjualan di Eks Pasar Swadaya (Lama) Timika menolak untuk dipindahkan ke Pasar Sentral, mereka mendatangi dan minta dukungan ke DPRD agar mereka tetap berjualan disana.
Ratusan Mama mama Papua yang biasanya berjualan di sepanjang Jalan Bhayangkara dan Eks pasar Swadaya sebelum diterima DPRD Mimika, mereka melakukan long march dengan berjalan kaki dari Depan Resto 66 Jalan Cendrawasih, Senin (20/07/20).
Long March ibu ibu ini, dikawal ketat oleh aparat kepolisian dan anggota TNI hingga tiba di halaman kantor DPRD Mimika. Mereka mengadu ke DPRD Mimika meminta agar mereka bisa tetap berjualan disekitar pasar lama dan tidak mau direlokasi ke pasar Sentral di jalan Hasanudin, dengan alasan biaya tranportasi untuk membawa hasil kebun ke sana terlalu mahal.
“Mama-Mama ini mengaku datang dari Sp-Sp yang jauh dari pasar sentral. Dengan demikian, Mama-Mama inipun tidak akan mau pindah ke pasar sentral meski Pemerintahan memaksa. Alasan Mama mama , kalau berjualan di Pasar Sentral jualan mereka tidak laku, dan hanya sedikit saja penghasilannya. Sementara beban biaya hidup yang menjadi tanggungan mereka sangat tinggi, lebih khsusu untuk memenugi kebutuhan biaya sekolah,”tegas Lis Murib.
Sementara Mama Deli Pigai mengakui, berjualan di Eks pasar Lama dan pasar Baru sangat berbeda jauh penghasilan yang mereka dapatkan, lagi pula untuk berjualan ke Pasar Sentral biaya transportasi atau ojek terlalu mahal.
“Di pasar itu kami bisa dapat uang ratusan perhari. Terus kalau ke pasar sentral, kami harus biaya transportasi berapa? Transportasi ke sana sangat tidak sesuai dengan hasil jualan kami. Kami hanya bisa jual sayur dengan harga Rp 5 ribu saja, sedangkan biaya ojek ke pasar sentral Rp 10 ribu,” ungkap Mama Deli Pigai mewakili Mama-Mama tujuh suku lainnya di Gedung DPRD Mimika.
Mama-Mama ini berkomitmen untuk tidak meninggalkan pasar lama meski nantinya pasar tersebut akan dibangun bangunan Mega serta hal lainnya. Sebab, dari pasar tersebut telah lahir anak-anak Papua yang bisa ikut membangun Indonesia.
“Intinya kami tidak mau pasar lama itu ditutup. Kami akan tetap jualan di jalanan di pasar tersebut, sampai kapan itu,” kata Deli.
Dihadapan anggota DPRD yang datang, Mama-Mama ini mengaku sering mendapat tindakan keras dari petugas Pol PP. Meja jualan pinang dan jualan yang digelar di pinggiran jalan sering diinjak dan ditendang Pol PP.
“Jam jualan kami dibatasi. Sedangkan pedagang pendatang dibiarkan jualan dari pagi sampai sore hari, bahkan hingga malam hari. Ada apa di balik semua itu?,”ujarnya.
Kerena itu, mengharapkan agar DPRD memperjuangkan keadilan untuk Mama-Mama ini mengingat Mama-Mama ini merupakan warga Indonesia yang harus mendapatkan keadilan.
“Kami ini yang melahirkan dan besar anak-anak Papua yang saat ini ada di DPR dan Pemkab, tapi kenapa anak-anak kami tendang kami ke sana dan kemari. Makanya sekarang kami bikin demo ke DPRD,” ungkap seorang Mama Kanya yaitu, Lis Murib.
Anselina Jitmau salah seorang penjual pinang, meminta kepada DPRD agar mendorong dikeluarkannya aturan dari pemerintah daerah, agar yang berhak menjual pinang dan daun gatal hanya pedagang orang asli Papua.
“Oyame tidak boleh menjual pinang dan daun gatal, biarkan Mama mama Papua saja yang berjualan. Kalau bisa juga , pemerintah membangun pasar khusus bagi Mama mama Papua dengan lokasi di sekitar eks pasar Swadaya. Masa pemerintah Jayapura bisa bangun pasar Mama mama Papua, sementara di Timika tidak,”tanyanya.
Menanggapi aspirasi Mama-mama ini, Ketua Komisi C Elminus B Mom, mengatakan bahwa semua aspirasi yang disampaikan akan koordinasi ke instansi terkait.
“Aspirasi kami terima dari Mama mama, dan kami akan tindak lanjuti untuk menggelar rapat dengar pendapat. Intinya coba kita carikan solusi dengan mengundang OPD OPD tehnis, Mama mama tetap bersabar untuk kami tindak lanjuti,”seru Elminus Mom.
Hal senada juga disampaikan Wakil Ketua Komisi B , Herman Gafur bahwa, aspirasi dan keinginan Mama mama untuk tetap bertahan di pasar lama akan dikoordinasikan ke Disperindag.
“Kalau bicara soal Mama-Mama ini adalah persolan serius dan terlalu sering. Intinya apa yang sudah disampaikan akan diteruskan ke pimpinan DPRD dan menjadi bahan untuk kemudian didiskusikan di DPRD,” kata Herman.
Hal ini dilakukan agar setiap aspirasi tidak dibiarkan berlalu, tapi harus dilanjutkan dalam RDP di DPRD. Selanjutnya, didorong ke tiap dinas yang terkait agar ke depannya Mama-Mama tidak lagi melakukan aksi demo.
“Kami setuju dan paham apa yang telah Mama-Mama keluhkan. Kami sangat bangga ketika Mama-Mama mengingatkan bahwa kantor DPR adalah rumah bersama, sehingga masyarakat bebas menyampaikan aspirasinya. Kehadiran Mama-Mama ke DPR lantaran telah menaruh harapan penuh kepada setiap anggota dewan,” ujar Herman.
Sedangkan Anggota Komisi C, Yulian Solossa mengatakan bahwa Mama-Mama semua harus berdoa agar aspirasi yang telah disampaikan bisa terakomodir. Sebab, DPRD akan berupaya untuk mendorong ke Pemkab melalui dinas yang terkait.
“Kami di DPR tidak bisa menjanjikan bahwa aspirasi Mama-mama akan diakomodir. Hal itu hanya bisa diakomodir oleh dinas terkait di Pemkab. Kita doakan supaya semua ini bisa terakomodir,” kata Yulian.
Setelah menyampaikan aspirasi dan keluhan kepada DPRD Mimika, Mama mama Papua akhirnya membubarkan diri dan meninggalkan kantor DPRD Mimika dengan tertib.
Ratusan Mama mama Papua yang biasanya berjualan di sepanjang Jalan Bhayangkara dan Eks pasar Swadaya sebelum diterima DPRD Mimika, mereka melakukan long march dengan berjalan kaki dari Depan Resto 66 Jalan Cendrawasih, Senin (20/07/20).
Long March ibu ibu ini, dikawal ketat oleh aparat kepolisian dan anggota TNI hingga tiba di halaman kantor DPRD Mimika. Mereka mengadu ke DPRD Mimika meminta agar mereka bisa tetap berjualan disekitar pasar lama dan tidak mau direlokasi ke pasar Sentral di jalan Hasanudin, dengan alasan biaya tranportasi untuk membawa hasil kebun ke sana terlalu mahal.
“Mama-Mama ini mengaku datang dari Sp-Sp yang jauh dari pasar sentral. Dengan demikian, Mama-Mama inipun tidak akan mau pindah ke pasar sentral meski Pemerintahan memaksa. Alasan Mama mama , kalau berjualan di Pasar Sentral jualan mereka tidak laku, dan hanya sedikit saja penghasilannya. Sementara beban biaya hidup yang menjadi tanggungan mereka sangat tinggi, lebih khsusu untuk memenugi kebutuhan biaya sekolah,”tegas Lis Murib.
Sementara Mama Deli Pigai mengakui, berjualan di Eks pasar Lama dan pasar Baru sangat berbeda jauh penghasilan yang mereka dapatkan, lagi pula untuk berjualan ke Pasar Sentral biaya transportasi atau ojek terlalu mahal.
“Di pasar itu kami bisa dapat uang ratusan perhari. Terus kalau ke pasar sentral, kami harus biaya transportasi berapa? Transportasi ke sana sangat tidak sesuai dengan hasil jualan kami. Kami hanya bisa jual sayur dengan harga Rp 5 ribu saja, sedangkan biaya ojek ke pasar sentral Rp 10 ribu,” ungkap Mama Deli Pigai mewakili Mama-Mama tujuh suku lainnya di Gedung DPRD Mimika.
Mama-Mama ini berkomitmen untuk tidak meninggalkan pasar lama meski nantinya pasar tersebut akan dibangun bangunan Mega serta hal lainnya. Sebab, dari pasar tersebut telah lahir anak-anak Papua yang bisa ikut membangun Indonesia.
“Intinya kami tidak mau pasar lama itu ditutup. Kami akan tetap jualan di jalanan di pasar tersebut, sampai kapan itu,” kata Deli.
Dihadapan anggota DPRD yang datang, Mama-Mama ini mengaku sering mendapat tindakan keras dari petugas Pol PP. Meja jualan pinang dan jualan yang digelar di pinggiran jalan sering diinjak dan ditendang Pol PP.
“Jam jualan kami dibatasi. Sedangkan pedagang pendatang dibiarkan jualan dari pagi sampai sore hari, bahkan hingga malam hari. Ada apa di balik semua itu?,”ujarnya.
Kerena itu, mengharapkan agar DPRD memperjuangkan keadilan untuk Mama-Mama ini mengingat Mama-Mama ini merupakan warga Indonesia yang harus mendapatkan keadilan.
“Kami ini yang melahirkan dan besar anak-anak Papua yang saat ini ada di DPR dan Pemkab, tapi kenapa anak-anak kami tendang kami ke sana dan kemari. Makanya sekarang kami bikin demo ke DPRD,” ungkap seorang Mama Kanya yaitu, Lis Murib.
Anselina Jitmau salah seorang penjual pinang, meminta kepada DPRD agar mendorong dikeluarkannya aturan dari pemerintah daerah, agar yang berhak menjual pinang dan daun gatal hanya pedagang orang asli Papua.
“Oyame tidak boleh menjual pinang dan daun gatal, biarkan Mama mama Papua saja yang berjualan. Kalau bisa juga , pemerintah membangun pasar khusus bagi Mama mama Papua dengan lokasi di sekitar eks pasar Swadaya. Masa pemerintah Jayapura bisa bangun pasar Mama mama Papua, sementara di Timika tidak,”tanyanya.
Menanggapi aspirasi Mama-mama ini, Ketua Komisi C Elminus B Mom, mengatakan bahwa semua aspirasi yang disampaikan akan koordinasi ke instansi terkait.
“Aspirasi kami terima dari Mama mama, dan kami akan tindak lanjuti untuk menggelar rapat dengar pendapat. Intinya coba kita carikan solusi dengan mengundang OPD OPD tehnis, Mama mama tetap bersabar untuk kami tindak lanjuti,”seru Elminus Mom.
Hal senada juga disampaikan Wakil Ketua Komisi B , Herman Gafur bahwa, aspirasi dan keinginan Mama mama untuk tetap bertahan di pasar lama akan dikoordinasikan ke Disperindag.
“Kalau bicara soal Mama-Mama ini adalah persolan serius dan terlalu sering. Intinya apa yang sudah disampaikan akan diteruskan ke pimpinan DPRD dan menjadi bahan untuk kemudian didiskusikan di DPRD,” kata Herman.
Hal ini dilakukan agar setiap aspirasi tidak dibiarkan berlalu, tapi harus dilanjutkan dalam RDP di DPRD. Selanjutnya, didorong ke tiap dinas yang terkait agar ke depannya Mama-Mama tidak lagi melakukan aksi demo.
“Kami setuju dan paham apa yang telah Mama-Mama keluhkan. Kami sangat bangga ketika Mama-Mama mengingatkan bahwa kantor DPR adalah rumah bersama, sehingga masyarakat bebas menyampaikan aspirasinya. Kehadiran Mama-Mama ke DPR lantaran telah menaruh harapan penuh kepada setiap anggota dewan,” ujar Herman.
Sedangkan Anggota Komisi C, Yulian Solossa mengatakan bahwa Mama-Mama semua harus berdoa agar aspirasi yang telah disampaikan bisa terakomodir. Sebab, DPRD akan berupaya untuk mendorong ke Pemkab melalui dinas yang terkait.
“Kami di DPR tidak bisa menjanjikan bahwa aspirasi Mama-mama akan diakomodir. Hal itu hanya bisa diakomodir oleh dinas terkait di Pemkab. Kita doakan supaya semua ini bisa terakomodir,” kata Yulian.
Setelah menyampaikan aspirasi dan keluhan kepada DPRD Mimika, Mama mama Papua akhirnya membubarkan diri dan meninggalkan kantor DPRD Mimika dengan tertib.
Post a Comment
Berkomentarlah sesuai dengan topik dan tidak menaruh link aktif. Terima kasih atas perhatiannya.